#ContactForm1 { display: none ! important; }

Monday 7 May 2012

[THOUGHTS] Ibu

Ini tulisan tahun 2008, tentang bagaimana saya menilai hubungan saya dengan Ibu saya *lagi kangen berat sama Ibu, huhu.

Saya publikasikan pertama kali tanggal 20 Oktober 2008 dalam bentuk note di facebook pribadi saya, di sini

Here we go...

===

Saat saya menulis, ini bukanlah masa-masa di mana ada perayaan Hari Ibu. Saya hanya ingin berbagi sedikit cerita mengenai saya dan Ibu. Tidak perlu ada perayaan Hari Ibu untuk mengingat seorang Ibu bukan?

Saya dan Ibu mungkin tidak dapat dikatakan sebagai dua orang yang sangat dekat. Dapat dikatakan, saya mulai mau menceritakan tentang banyak hal yang terjadi di hidup saya, itu setelah saya kuliah. Sebelumnya, saya lebih banyak bercerita dengan teman-teman.

Saya ingat, saya sering merasa memiliki ‘jarak’ dengan Ibu karena ada batasan-batasan yang diberikan Ibu kepada saya. Bukan batasan hubungan Ibu dan anak, tetapi lebih kepada apa yang harus saya lakukan dan tidak boleh saya lakukan. Tidak ada kebebasan yang saya rasakan saat itu. Misalnya, saya suka menari tetapi tidak diperbolehkan untuk ikut sanggar tari selain yang di sekolah sementara adik-adik saya diperbolehkan ikut kegiatan apapun yang mereka inginkan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Saya tidak diperbolehkan menginap di rumah Tante terdekat sementara adik-adik saya diperbolehkan kapanpun mereka mau. Saya tidak diperbolehkan pulang terlambat dari waktu pulang sekolah sementara adik-adik saya diperbolehkan pulang malam (bahkan ada yang sangat larut malam). Banyak sekali contohnya, sehingga mungkin butuh waktu lama untuk bisa membuat daftar ini. Lalu, apa saja alasan dari larangan-larangan tersebut? Tidak lebih karena saya anak pertama dan satu-satunya perempuan di dalam keluarga.

Alasan itu memang jurus ampuh yang dikeluarkan oleh Ibu untuk memberikan pengekangan terhadap diri saya. Setiap saya ingin berontak, setiap saya marah, setiap saya merasa kecewa, setiap saya menangis, setiap itu pula Ibu akan mengingatkan saya bahwa di keluarga kecil kami hanya sayalah anak perempuan Ayah dan Ibu. Keampuhan jurus ini terbukti. Saya akan berhenti sejenak dari pemberontakan yang saya rencanakan jika saya ingat jurus tersebut. Apalagi, biasanya Ibu menambahkan dengan mengatakan bahwa Ayah dan Ibu mungkin akan sangat marah, akan tidak segan menghajar siapapun yang berani menyakiti saya. Jika saya dibiarkan sendiri, Ayah dan Ibu akan merasa khawatir berlebih. Jika saya tidak ada di rumah, Ayah dan Ibu akan kesepian, Ayah yang biasa saya lihat tegar-galak-suka marah pun akan menangis. Bahkan, mungkin, jika ada hal buruk yang terjadi pada diri saya, bisa saja akhirnya Ayah dan Ibu akan bunuh diri. Terdengar ekstrem. Tapi, memang itulah yang sering saya dengar dari mulut Ibu.

Namun, satu kali, pemberontakan yang telah mendarah daging di diri saya, tidak dapat saya bendung. Penyebabnya karena saya merasa Ibu ingkar janji kepada saya. Sejak saya kelas 2 SMP, saya sudah bilang ke Ibu kalau saya ingin kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Saya mau mengambil jurusan Kedokteran di sana. Saat itu, Ibu mengatakan boleh asalkan saya tidak lupa untuk selalu belajar. Tetapi, ternyata di saat-saat terakhir masa SMA saya, di saat formulir PMDK sudah banyak berdatangan ke sekolah (termasuk dari UGM), di saat UM UGM (yang diadakan untuk pertama kalinya) sudah di depan mata, di saat UAN (3 mata pelajaran, yang juga dilakukan untuk pertama kalinya) juga sudah semakin dekat, tiba-tiba Ibu tidak memberikan izin kepada saya. Oleh Ibu, saya hanya diperbolehkan kuliah di UNILA. Itu artinya, saya hanya boleh tinggal di Bandar Lampung, tidak boleh di kota lainnya. Saya berontak. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya benar-benar merasa marah. Baru saya menyadari bahwa semua pernyataan boleh yang saya dengar sejak SMP adalah taktik Ibu agar saya belajar dengan serius. Saya merasa benar-benar dibodohi. Apalagi, larangan Ibu tidak berhenti di situ. Sewaktu saya bilang, selain kedokteran saya juga akan mencoba jurusan Kimia (selama SMA saya sangat menyukai bidang ini dan sengaja masuk jurusan IPA demi memperdalam Kimia), ternyata untuk semua jurusan berbau Kimia saya dilarang. Alasannya, demi kesehatan. Memang, saya memiliki alergi sehingga Ibu khawatir jika saya banyak melakukan eksperimen di laboratorium Kimia akan memperburuk kesehatan saya.

Untuk semua larangan tiba-tiba tersebut, saya merasa tidak dihargai pendapat dan keinginan peribadi saya. Saat itu, saya merasa cukup untuk semua larangan yang saya terima. Saya merasa lelah jika harus mengikuti setiap titah Baginda Ratu (Ibu sering memanggil saya Tuan Putri sehingga saya pun terkadang memanggil Ibu sebagai Baginda Ratu). Ditambah lagi, ada keinginan Ayah yang harus saya ikuti pula. Ayah memaksa saya kuliah di STPDN (namun untuk yang satu ini, Ibu memilih membela saya yang tidak tidak ingin kuliah di sana).

Akhirnya, saya melakukan perlawanan terhadap Ibu. Saya mogok bicara hingga lebih dari 1 minggu. Saya terus menangis. Sementara, Ayah tidak banyak melarang dan memaksa saya lagi. Ayah bilang saya boleh kuliah di manapun, di jurusan apapun yang saya suka. Mungkin karena lelah menghadapi saya, Ibu akhirnya memperbolehkan saya kuliah di luar Lampung. Tetapi, satu-satunya kota yang diperbolehkan Ibu adalah Jakarta. Alasannya, karena saya memiliki keluarga dekat (adik laki-laki Ibu) di kota Jakarta. Terus terang saya kaget. Saya tidak pernah membayangkan akan tinggal di Jakarta. Apalagi, satu-satunya universitas negeri yang saya tahu ada di Jakarta hanya Universitas Indonesia (UI). Wah, saya tidak pernah memiliki keberanian untuk mendaftar di sini. Saat itu, UI adalah universitas yang paling saya takuti dan paling saya hindari untuk didekati. Walaupun saya tidak menolak untuk kuliah di UI, tapi saya tidak merasa cukup pintar untuk kuliah di kampus yang dianggap nomor satu di Indonesia.

Demi mengingat bahwa hanya UI satu-satunya kesempatan saya untuk bisa kuliah di luar Lampung, saya memberanikan diri untuk menerima tantangan Ibu. Dengan penuh harap, saya selalu berdoa semoga saya diterima di UI. Kesempatan pertama yang saya ambil adalah dengan ikut seleksi sekolah bagi siswa-siswi yang ingin kuliah di UI dan UGM melalui jalur PMDK. Kebetulan, di sekolah saya saat itu, formulir pendaftaran PMDK UI dan UGM datang dalam waktu yang berdekatan. Alhamdulillah, saya lolos seleksi sekolah. Setelah itu, saya mulai mencari jurusan apa yang ingin saya ambil di UI. Setelah mempertimbangkan banyak hal, saya memilih jurusan Psikologi. Untuk pemilihan ini, terus terang Ibu ikut berperan penting. Alhamdulillah, kali ini pilihan Ibu tidak salah karena saya diterima di jurusan Psikologi UI angkatan 2003.

Semenjak kuliah, saya belajar banyak hal, termasuk untuk menganalisa hubungan apa yang sebenarnya terjadi antara saya dan Ibu. Selama belum kuliah, saya selalu merasa Ibu terlalu mengatur saya. Ibu terlalu memberikan segala bentuk pengekangan terhadap diri saya sehingga saya merasa tidak memiliki ruang gerak yang cukup. Namun, setelah dicermati secara mendalam, apa yang dilakukan oleh Ibu adalah wujud cinta beliau kepada saya. Semua yang bagi saya larangan adalah bentuk dari rasa takut seorang Ibu jika harus jauh apalagi kehilangan satu-satunya anak perempuan. Meskipun awalnya hanya menantang keberanian saya untuk mengambil kuliah di UI, namun Ibu yang paling merasa cemas saat menanti pengumuman PMDK saya. Meskipun terkesan tidak ingin saya jauh dari beliau, namun Ibu yang paling berharap saya lolos seleksi masuk UI. Terbukti, Ibu yang paling marah dan merasa down saat mengetahui saya tidak diterima PMDK di UNILA, namun beberapa jam kemudian Ibu pula yang paling senang dan antusias saat mendengar saya diterima di UI. Walaupun, kemudian menyadari bahwa jurusan saya bukan berada di UI Jakarta melainkan di UI Depok, yang artinya akan semakin jauh jarak antara saya dan Ibu.

Selain itu, saya ingat, saat pertama kali mengantarkan saya ke Jakarta, saya melihat Ibu menangis. Itu pertama kalinya saya melihat Ibu menangis sedih karena harus jauh dari saya. Saya pun ingat, apapun yang saya inginkan dan kira-kira dibutuhkan selama menjalani kehidupan sebagai mahasiswi baru sekaligus anak kost, semua berusaha dipenuhi oleh Ibu tanpa kecerewetan seperti biasa. Ya, Ibu biasanya akan menginterogasi apakah yang saya inginkan untuk dimiliki adalah yang benar-benar dibutuhkan. Jika menurut Ibu tidak perlu, maka saya tidak akan diberi kesempatan memiliki hal tersebut.

Ibu juga yang setia menemani masa-masa awal saya kuliah. Saat saya merasa seperti salah jurusan karena harus belajar bidang yang saya hindari saat SMA (Filsafat, Antropologi, Sosiologi), Ibu yang setia mendengarkan semua curhat saya. Di awal-awal semester Ibu juga sering menginap di kost. Jika melihat cucian saya menumpuk, Ibu yang mencuci – menjemur – menyeterika. Jika melihat saya tidak ada makanan, Ibu yang menyediakan untuk saya. Jika melihat kamar berantakan, Ibu pula yang membereskan. Dan sekarang, saat saya sudah lebih dari 1 tahun lulus kuliah, saat saya sudah bekerja dan semakin jarang pulang ke rumah, Ibu masih sering menemani saya tidur di kamar (di rumah) sambil memeluk saya, Ibu masih sering merapikan kamar saya, Ibu masih sering mencuci – menjemur- menyeterika pakaian saya, Ibu pun masih membuatkan makanan yang saya inginkan.

Dari Ibu pula saya belajar untuk bersikap sabar dan tawakal, belajar untuk mau khatam Al-Qur’an di bulan Ramadhan, belajar rajin menjalankan shalat dan puasa sunah, belajar bersikap mandiri dan bertanggungjawab, belajar untuk mau menyisihkan uang yang dimiliki untuk ditabung, serta belajar banyak hal lainnya. Pembelajaran inilah yang masih berusaha untuk tetap saya jalankan saat ini karena manfaatnya jelas terasa banyak.

Memang, kasih seorang Ibu selalu abadi. Membuat saya khawatir, apakah saya akan mampu membalas semua kasih sayang Ibu kepada saya. Apalagi, saya masih sangat-sangat-sangat jauh dari sempurna sebagai anak. I Love You, Ibu.

Mother is everything in this life; she is consolation in time of sorrowing and hope in time of grieving and power in moments of weakness. She is the fountain-head of compassion, forbearance, and forgiveness. He who loses his mother loses a bosom upon which he can rest his head, the hand that blesses, and eyes which watch over him.
Everything in nature bespeaks the mother. The sun is mother of earth and gives it its nurishment of heat; it never leaves the universe at night until it has put the earth to sleep to the sing of the sea and the hymns of birds and brooks. And this earth is the mother of trees and flowers. It produces them. The trees and flowers become mothers of their fruits and seeds. And the mother, the prototype of all existence, is the eternal sipirt, full of beauty and love.
(Taken from Broken Wings by Gibran Khalil Gibran).


Cupsmuach! *ketjup sayang Ibu*
Have a blessed day!