#ContactForm1 { display: none ! important; }

Wednesday 10 December 2014

Kepada: Tuan Pemilik Nama dalam Doa*

*
Karya Zulfy Rahendra yang diikutsertakan di dalam #SGANia November.


Kepada: Tuan Pemilik Nama dalam Doa

Dear,
Tuan, saat ini saya sedang mendengarkan sebuah lagu.

......
Seberapa hebat kau untuk kubanggakan?
Cukup tangguhkah dirimu untuk selalu kuandalkan?
Mampukah kau bertahan dengan hidupku yang malang?
Sanggupkah kau meyakinkan di saat aku bimbang?
......
                                 (Seberapa Pantas – Sheila on 7)                                                                               

Lagu itu membawa saya mengingat pahlawan saya. Dia yang sangat hebat sehingga saya amat bangga padanya. Dia yang,saking tangguhnya, membuat saya jadi mengandalkan apapun kepadanya. Dia yang rela berpeluh demi menghindarkan saya dari hidup malang. Dia yang selalu meyakinkan saya, mendukung saya, memberi jalan pada setiap pilihan saya, mengeluarkan saya dari kebimbangan. Jadi, Tuan, izinkan saya bercerita kepadamu. Tentang dia, pahlawan saya.

Dia biasa saja, Tuan. Dia tidak mewariskan wajah rupawan atau harta yang tidak habis dimakan tujuh turunan kepada saya. Sangat biasa. Dia mungkin akan dikenali karena banyaknya pintu terbuka dimanapun dia berada. Dia mungkin akan dikenali karena kemampuannya membuat orang-orang di sekelilingnya tertawa dan merasa nyaman. Namun selebihnya, dia hanya orang biasa, mungkin tak kasatmata bagi yang belum mengenalnya. Percayalah, Tuan. Setelah mengenalnya, kamu akan, paling tidak, menganggap dia bukan sekadar pengisi bumi. Dia tak bertopeng. Dia selalu adalah dia. Dia hanya orang baik, yang karena takdir mempunyai kewajiban menjaga saya. Dan syukurlah, dia melakukannya dengan sangat baik. Dialah yang membentuk saya menjadi manusia seperti sekarang.

Tuan,
Kamu salah satu orang yang mengetahui dengan baik bagaimana kedekatan saya dengan dia. Dia adalah sahabat, penjaga, tulang punggung, tangan kanan, tangan kiri, jantung, paru-paru, kaki kanan, kaki kiri, saat ini dia adalah seperempat jiwa saya; dia adalah sebuah Horcrux, Horcrux paling berharga. Kepadanya saya meminta saran, kepadanya saya mengeluh, kepadanya saya menangis meminta perlindungan. Hingga usia saya yang sudah lebih dari cukup untuk dikatakan dewasa ini, dia selalu ada. Bahkan ketika jauh, mengetahui bahwa dia ada dan hidup saja sudah membuat saya tenang dan sanggup menghadapi matahari. Mungkin karena saya tahu, sejauh apapun jarak kami, dia akan dapat menemukan saya ketika saya membutuhkannya. Mungkin karena saya tahu, sejauh apapun dia, dia selalu ada, siap, menjaga. Mungkin karena saya tahu, selama dia ada, semuanya akan baik-baik saja.

Dia mengajarkan saya kejujuran. Katanya, jika ingin memiliki anak yang baik, mulailah memberi anakmu makan dari makanan yang didapat dengan cara yang baik. Dia yang mengajarkan saya keteguhan. Ujarnya, bertanggungjawablah dengan pilihan apapun dalam hidupmu. Dia yang mengajarkan saya kesetiaan. Sabdanya, bertahanlah dan jangan pernah mengecewakan orang yang sudah mempercayaimu. Dia yang mengajarkan saya kedewasaan. Ucapnya, diamlah jika marah, kelak kamu akan menyesali segala ucapanmu. Dia yang mengajarkan saya cara menghormati. Katanya, perlakukanlah siapapun, seperti kamu ingin diperlakukan. Dia yang mengajarkan saya menertawakan hidup. Ujarnya, bahagia itu pilihan, hidup tak jadi lebih mudah dengan mengeluh.Bahkan dia mengajarkan saya cara mencintai. Katanya, lebih mudah mencintai daripada dicintai, karena seringkali dicintai seperti memikul beban, keharusan mencintai kembali atau penanggungan rasa bersalah.

Dia masih memperlakukan saya selayaknya bayi kecil bertulang rawan. Kadang, itu terasa menganggu. Benar, Tuan. Pahlawan itu pernah saya anggap menganggu. Dia selalu berkeras mengantar jemput saya, menghubungi saya ketika saya pergi kemana pun sendirian, mengetahui semua aktivitas saya. Dia memiliki ketakutan berlebih. Ketakutan kehilangan saya. Seakan dia tidak mempunyai kepercayaan terhadap saya. Hei, saya juga bisa jaga diri! Dan lalu kami beradu mulut. Dia berkata setengah marah setengah kecewa, katanya saya belum tahu rasanya menjadi dia. Ketika benda berharga dibiarkan pergi tanpa penjaga. Dia takutterjadi sesuatu yang buruk kepada saya, saya yang berada dalam tanggung jawabnya. Saya rasa dia tidak sanggup menanggung beban perasaan bersalah jika gagal menjaga saya padahal dia masih punya kekuatan melakukannya.

Tentu kami tak selamanya akur, Tuan. Saya dan Sang Pahlawan. Saya, selalu merasa lebih tahu, lebih mengerti, lebih ingin menantang kehidupan. Dan dia, berdiri di sana, membesarkan saya untuk kemudian dilihatnya pergi. Dia sering sekali memarahi saya karena keputusan-keputusan saya yang gegabah, sikap saya yang masih sering ceroboh, keengganan saya bersikap terbuka. Paling sering karena saya sulit sekali diminta melakukan sesuatu, atau karena kecenderungan kompulsif saya menimbun buku. Pada akhirnya, segala alasan kami bertengkar selalu berbalik pada fakta, bahwa dia melakukan ini untuk saya. Dan siapalah saya tanpa dia. Segalak apapun dia memarahi saya, dia jugalah orang yang bersedia berdiri di depan saya jika ada orang yang ingin menebas kepala saya.

Oya, Tuan.
Pahlawan saya sangat sibuk. Dia bukan hanya menjaga saya, tapi juga menjaga seluruh keluarganya, sahabat-sahabatnya. Adik-adiknya, kakak-kakaknya. Semuanya. Mereka selalu datang kepadanya ketika membutuhkan kekuatan pahlawan saya. Saya selalu bangga. Bangga oleh kenyataan, bahwa diantara mereka semua, sayalah teristimewa. Betapa saya menyayangi dia, Tuan.

Tuan,
Di titik ini saya berdoa. Saya ingin meminta. Kepada Tuhan. Berharap kamu, paling tidak, memiliki separuh saja kekuatan pahlawan kesayangan saya. Kepadamu, Tuan, kelak saya akan menggantungkan seluruh hidup saya. Pahlawan kesayangan saya telah menjaga saya sejauh ini, dengan amat sangat baik, sepenuh hatinya, dengan jiwa raganya. Dia telah memberikan seluruh hidupnya buat saya. Kelak, mungkin saya tidak akan meminta sebanyak itu kepadamu. Hanya saja, Tuan, yakinkanlah saya. Yakinkan saya agar saya sanggup berlepas dengan ikhlas dari Sang Pahlawan. Agar saya percaya kamu mampu menjaga saya sebaik dia. Kamu tidak perlu menjadi dia, Tuan. Percayalah. Hanya saja, milikilah separuh kekuatannya. Kemampuan diandalkan, kesanggupan bertahan menjaga, keberanian menentukan pilihan, keteguhan bertanggung jawab. Apa permintaan saya terlalu banyak, Tuan?

Tuan,
Dia adalah cinta pertama saya. Dia akan selamanya menjadi pahlawan dalam hidup saya. Jangan menjelma dia, Tuan. Saya hanya berharap kamu mempunyai kebaikan yang sama dengan dia. Jadilah pahlawan baru dalam hidup saya. Sanggupkah kamu menggantikan dia menjaga saya? Kelak dia akan ikut menilaimu, Tuan. Saya sungguh berharap Tuhan memberi kesempatan dia melepas saya kepada kamu. Dan semoga Tuhan juga memberi saya kesempatan melihat anak saya kelak menulis surat semacam ini buatmu.

Sudah ya, Tuan. Baik-baik di sana. Semoga Tuhan menjaga kamu.

Salam.





P.S. Saya memanggil dia Ayah. 

...

Tulisan ini diikutsertakan di dalam #SGANIA bulan November 2014 [http://kata-nia.blogspot.com/2014/11/SGANia-Nov2014.html]