#ContactForm1 { display: none ! important; }

Tuesday 24 April 2012

[FACTS] "Kitab Suci"

Berhubung masih dalam perjalanan menuju cita-cita menjadi Child Clinician, jadi saya sebagai calon Psikolog Anak (yang diharapkan baik dan benar, hehehe) harus banget yang namanya punya "kitab suci". Apakah ituuuhh? Taraaaaaa!!!

ini dia kira-kira penampakan cover si "kitab suci" 

untuk kebutuhan sehari-hari,
biasanya buku dengan cover ini
yang saya bawa kemana-mana
karena bentuknya pocket, hehe.


Jadi, "kitab suci" buat calon Psikolog, calon Psikiater, Psikolog, dan Psikiater adalah si buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. Saat ini yang terbaru adalah DSM IV edisi ke-empat, sesuai dengan cover foto di atas. Dengar-dengar, di negara asal penerbitnya, sudah siap meluncur DSM V. Beuh! DSM IV aja belum khatam udah mau muncul yang edisi terbaru. Super sekaliiihh.

"Kitab suci" ini populer disebut dengan DSM, versi lengkapnya untuk edisi yang saya pakai disebut dengan DSM IV-TR, dan diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA). Makanya banyak yang bilang, sebenarnya manual book ini cenderung Psikiater banget, bukan Psikolog banget.

Memangnya apa siiih beda Psikolog sama Psikiater? Naaaaaah, insyaAllah next time aja dibahasnya yaa *catet, hehe.

Sebenarnya ada saatnya saya mabok baca buku DSM IV-TR. Apalagi di masa-masa praktek kaya sekarang. Saya kan lagi lanjut kuliah profesi dan sedang ada di tahap handle kasus-kasus klinis (spesifik klien: anak-anak), jadinya semenjak kurang lebih 2 tahun belakangan makin akrab sama si buku DSM IV-TR. Saya bukan mabok sama isinya atau ketebalannya, hehe. Memang siih bukunya setebal alaihimgambreng dan serba Bahasa Inggris, tapi kan semenjak saya s1 memang sudah akrab sama textbook super tebal, jurnal, dan tulisan ilmiah lainnya yang berbahasa Inggris, jadi saya ga terlalu kaget *banyak gayaak padahal sering nampang doang buku-buku itu dan kemampuan berbahasa Inggris cuma di level insyaAllah seadanya, haha.

Yang bikin mabok ituuuu karena terkadang saya terkendala sama proses diagnosa akhir mengenai masalah klien. 

kira-kira seperti ini ketebalan buku DSM ini

Proses bolak-balik membaca working diagnosis (semacam perkiraan awal mengenai kemungkinan masalah yang dihadapi klien dan harus ditentukan sejak pertemuan pertama ketika mendengarkan keluhan tentang klien) dan mencocokkan hasil pemeriksaan (integrasi antara hasil anamnesa - wawancara, observasi, dan hasil tes psikologis yang diberikan kepada klien dan pihak yang terkait dengan masalah klien, seperti orangtua, guru, teman, keluarga, dll) inilah yang sebenarnya bagi saya menjadi tahap paling berat.

Jangan sampai salah memberikan diagnosa karena bisa berakibat fatal dan mempengaruhi keberlangsungan hidup klien di masa depannya. Psikolog salah diagnosa itu akibatnya bisa seumur hidup. Bayangkan jika ada seorang anak yang didiagnosa mengalami autisme sementara sebenarnya ia tidak mengalami autisme. Seumur hidup dia bisa diperlakukan sebagai orang dengan autisme dan diberikan terapi terkait autisme. Padahal sebenarnya ia bermasalah di ranah yang lain, atau mungkin sebenarnya ia normal. Artinya, masa depan seorang anak menjadi "rusak" hanya karena ada seorang Psikolog yang salah memberikan diagnosa kepadanya.

Untuk mendiagnosa masalah klien inilah, makanya saya (dan teman-teman serta rekan sejawat lainnya) selalu butuh "kitab suci" DSM. Di situ ada rincian kriteria suatu gejala-gejala psikologis bisa berujung menjadi masalah psikologis tertentu. Nanti saya coba jabarkan lagi di post selanjutnya tentang proses penetapan sebuah diagnosa *catet lagi.


Cupsmuach! *ketjup (+jitak) para penemu konsep DSM* *tiba-tiba mabok DSM, hehe*
Have a blessed day!